“Mbak.. aku sedang diberi ujian spesial.”, adu seseorang padaku. “Dia
harus menikah dengan yang satu suku.”, lanjutnya lagi.
Tahukah kau,
aku menangis, lebih dari tangisku yang biasa. Kau adalah saudari yang kukemas
dalam ruang rindu penuh cerita, yang selalu kupandang dengan mata kaca, bila
wajah dan namamu menyapa di beranda. Setidaknya aku tahu kondisi hatimu sejak
kita mulai sangat dekat.
Terus
terang, aku belum mampu membalas pesan inboxmu. Karena aku tahu, seberapa pilu
luka itu. Aku sanggup melukis ulang derita hatimu. Aku bisa membuat satu bentuk
lara yang kau rasa itu. Persis sama dengan yang terukir kini dalam sejarah
kehidupanmu. Kita bisa nyanyikan lagu yang sama, Adinda. Kutemani kau
bersenandung.
“Ajari aku
tentang keikhlasan, mbak.”, dengan kau tambahkan symbol ‘T-T’. Menambahkan sesak di dadaku tanpa
ampun.
Entah
mengapa, saat aku mengalaminya. Aku tak terlalu peduli. Sedih, tapi tak sampai
menyedihkan jiwa. Cukup sedih saja. Toh itu sudah cukup sakit kan, Adinda..?
Jadi, cukuplah hingga jatuh airmatamu. Kemudian sembuhlah setelah itu. ^_^
Sebenarnya,
orang-orang seperti kita, bisa saja mengadukan pada dunia, tentang
ketidakadilan yang manusiawi ini. Atau meneriakkan satu hal logis dengan
kalimat. “Kalau bebek harus kawin dengan bebek. Kalau ayam, mesti
berpasangan dengan ayam. Tapi, manusia bukanlah bebek atau ayam.”, begitu
kan, Adinda..?? Mengapa cinta itu harus ditautkan dengan batasan ruang, batasan
waktu, atau batasan-batasan yang lainnya. Kesemuanya, tentu kebanyakan
berdasarkan kepada kepentingan yang kemarin sempat aku tidak bisa terima, namun
kemudian aku menjadi lega dengan kejadian itu.
Adinda, nan
elok hati serta telah kusaksikan pula cantik rupa. Mendekat kemari. Aku
sampaikan satu pesan indah, dari seorang Abi di ruang maya, “Allaah Maha
Pencemburu. Dia mencintaimu, lebih dari siapapun yang telah mendahuluimu.
Hingga memintamu tuk menunggu, lelaki terbaik yang telah dijanjikan-Nya.” Kalimat
yang di tengah rasa legaku, semakin menyejukkan dan menenangkan.
Kau lebih
tahu, Adinda. Apa saja pesan Allaah, dalam surat cinta-Nya, mengenai masalah
ini. Mengenai kesabaran, mengenai keikhlasan, mengenai wanita-wanita shalihah
yang tak satupun Allaah kecewakan hatinya. Kau sahabat qur’an sayang. Ialah
syifa’, maka oleskan obat peghilang sakit ini. Telan ia dengan sempurna, hingga
mengalirlah lancar setiap pembuluh darahmu dengan ‘kepercayaan’ penuh kepada
Rabb-mu, Rabb-ku, Rabb kita Adinda.
Watak jiwa
kita memang lemah Adinda. Jika kita bisa merasa kuat hanya dengan apa yang kita
punya. Karakter hati kita, memang goyah Adinda. Bila kita merasa, bisa tangguh
dengan sususan tulang kita nan rapuh.
Adinda yang
Rahmat Allaah semoga tercurah kepadamu, selalu.
Biarlah air
mata, menjadi pengantar ‘bad day’ itu pergi. Biarlah angin membawa badaimu
berlalu jauh. Usah tengok ia ulang. Ia sudah menjadi bagian dari sejarahmu.
Meskipun, Allaah sesekali pernah izinkan ‘keajaiban’ mengembalikan kebahagiaan
kita. Namun, kau percaya kan, Adinda. Ada satu masa istimewa, di depan sana
yang kelak pula mampu melukis senyuman terindah di wajah duniamu. Bukan bahagia
itu, yang kemarin kita rasakan. Tapi, yang lainnya, bahagia yang lebih
berestetika dan dengan ke-ahsan-an etika. Segenap-genapnya bahagia, tanpa
ganjil di dalamnya.
Kita mesti
bersedia untuk bahagia itu Adinda. Waktu akan temani kita. Maka sebagai
temannya, mari kita ‘memelihara’-nya dengan penuh kesungguhan. Jangan ‘bunuh’
ia dengan ‘berleha-leha’ bersama derita, senyum kecut dan wajah tanpa ceria.
Ringankan
hati, Adinda. Jadikan diri sebagai ‘pesona bidadari’ hingga sang ‘putra langit’
kan jemputmu kelak.
Biidznillaah..
*Peluk dari
jauh*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar