Catatan
Empat Tahun Kinerja Perekonomian
Pemerintahan
SBY – JK
Empat Tahun
pemerintahan SBY – JK, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami pasang surut.
Diawal pemerintahan pada Oktober 2004 hingga tahun 2006, pemerintahan SBY – JK
(berkaca pada pencapaian pertumbuhan tahun 2005 dan 2006) mensia-siakan
momentum percepatan pertumbuhan yang telah diwariskan oleh pemerintahan
sebelumnya (Megawati Soekarno Putri). Stabilitas Ekonomi dan Akselerasi
Perekonomian yang telah dicapai oleh pemerintahan Megawati tidak dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintahan SBY – JK untuk melakukan pencapaian
percepatan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2007, momentum percepatan sudah
kembali hadir yang dapat dilihat pada pencapaian target pertumbuhan mencapai
6.3 persen meskipun kondisi ini masih sangat riskan dipertahankan dengan
memperhatikan gejolak global (kenaikan harga minyak dan komoditas pangan) yang
sedang terjadi di akhir-akhir penghujung tahun 2007 hingga saat ini dan juga
bergantung ketahanan perekonomian domestik Indonesia sendiri. Momentum yang
relatif sudah kembali ini, akan dapat dipertahankan apabila kondisi menyeluruh
perekonomian yang dicapai dengan pencapaian pertumbuhan 6.3 persen pada tahun
2007 mampu bertahan kokoh menghadapi gejolak eksternal (global) yang sedang
terjadi hingga tahun 2008.
Apabila kita
berkaca pada pencapaian pemerintahan Megawati yang mampu menciptakan stabilitas
ekonomi serta akselerasi pertumbuhan yang konsisten dan tidak disia-siakan oleh
pemerintahan SBY di dua tahun awal pemerintahannya, maka pencapaian target
pertumbuhan pada RPJM sebesar 7.2 persen pada tahun 2007 tidak tak mungkin
dapat teralisasi.
Gejolak
perekonomian global yang dimulai dengan kasus sub-prime mortage di Amerika
Serikat, bergejolaknya harga minyak dunia dan beberapa komoditas pangan serta
krisis finansial global yang sedang terjadi menjadi tantangan berat bagi
pemerintahan sekarang untuk melanjutkan momentum pertumbuhan yang sudah kembali
tersebut. Keberlanjutan momentum ini juga tergantung pada kualitas dan besarnya
daya tahan perekonomian yang tercipta hingga tahun 2007 yang silam. Apabila
kualitas dan daya tahan perekonomian tidak tereflesikan secara simetris dengan
angka pencapaian pertumbuhan yang relatif baik hingga akhir tahun 2007, maka
kondisi perekonomian Indonesia sangatlah rawan rontok dalam menghadapi imbas
gejolak eksternal yang sedang terjadi.
Pola
Pertumbuhan Sektoral
Selama empat
tahun terakhir, pola pertumbuhan sektoral masih menunjukkan kesenjangan yang
masih cenderung lebar antara sektor tradable dan non-tradable. Pertumbuhan
sektor tradable yang relatif jauh dibawah pertumbuhan PDB, sebaliknya
pertumbuhan non-tradable yang selalu jauh diatas pertumbuhan PDB.
Sektor yang
mencapai pertumbuhan terbesar pada sektor non – tradable adalah sektor
Transportasi dan Komunikasi yang mencapai rata-rata hampir 14 persen pada empat
tahun terakhir. Sedangkan di sektoral tradable, sektor manufaktur memiliki
pertumbuhan tertinggi secara rata-rata pada 4 tahun terakhir.
Pola
pertumbuhan sektor yang menunjukkan kesenjangan yang cenderung semakin melebar
menimbulkan suatu kejadian anomali ekonomi. Dimana kondisi kesenjangan Sektoral
tradable dan non-tradable lazimnya terjadi di negara-negara yang sudah melalui
tahapan industrialisasi yang matang, sementara Indonesia masih dalam tahap
pematangan di tahap industrialisasi. Pada proses pematangan industrialisasi,
peranan sektor manufaktur masih bisa dipacu hingga 35 hingga 40 persen dari
PDB, akan tetapi kondisi yang terjadi di Indonesia peranan sektor manufaktur
masih dibawah 30 persen. Bahkan peranan sektor manufaktur memiliki
kecenderungan stagnan dan pada tahun 2007 lalu mengalami penerunan meskipun
penerunannya tidak terlalu besar. Kecenderungan stagnasi dan menurunnya sektor
manufaktur mengiindikasikan adanya tanda-tanda Indonesia mengalami
de-industrialisasi dini.
Kondisi
kecenderungan makin melebarnya kesenjangan sektor tradable dan non-tradable dan
stagnan serta relatif kecenderungan menurunnya sektor manufaktur menandakan
kualitas pertumbuhan sektoral tidak optimal, sehingga sangat sulit diharapkan
memberikan dampak berarti bagi pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran
serta pemerataan pendapatan.
http://robbyalexandersirait.wordpress.com/2008/12/09/catatan-empat-tahun-kinerja-perekonomian-pemerintahan-sby-%E2%80%93-jk-part-1/
Pola
Pertumbuhan Berdasarkan Penggunaan
“Konsumsi
Rumah Tangga masih menjadi komponen dominan pertumbuhan”
Pertumbuhan
ekonomi Indonesia di 4 tahun terakhir masih dominan didrive oleh konsumsi rumah
tangga yang mencapai rata-rata sumbangsih diatas 50 persen terhadap PDB setiap
tahunnya. Di empat tahun terakhir juga, komponen penggunaan konsumsi rumah
tangga mengalami pertumbuhan yang relatif cukup tinggi dan tahun ke tahun
mengalami peningkatan pertumbuhan. Kondisi ini menunjukkan terancamnya kualitas
perekonomian jika hanya ditopang (sangat dominan) oleh komponen-komponen
pengeluaran yang kurang menjamin kesinambungan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan
yang dominan di drive oleh komponen konsumsi menunjukkan relatif kurang
berkualitas pertumbuhan ekonomi yang dicapai. Ini disebabkan karena dominasi
komponen konsumsi kurang menjamin kesinambungan pertumbuhan dan komponen
tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan dalam rangka mengurangi angka
kemiskinan dan pengangguran. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih relatif
besar didorong jenis penggunaan konsumsi tidak akan memberikan efek yang
signifikan terhadap penurunan angka pengangguran dan kemiskinan. Didalam
perhitungan PDB, variabel konsumsi relatif tidak memberikan efek multiplier
yang besar atau signifikan terhadap angka pengangguran dan kemiskinan. Efek
yang dimaksud jelas dapat terlihat pada masih relatif tingginya angka
penggangguran dan kemiskinan.
Melihat kredit
konsumsi yang terus meningkat dibarengi dengan peningkatan komponen penggunaan
menunjukkan bahwa kecenderungan bahwa peningkatan konsumsi rumah tangga bukan
karena kenaikan tingkat kesejahteraan atau pendapatan rumah tangga akan tetapi
karena ditopang oleh kredit konsumsi. Pertumbuhan rata-rata tahunan kredit
konsumsi selama kurun waktu tahun 2004 s/d 2007 sebesar 27,08 persen, diatas
rata-rata pertumbuhan kredit modal kerja (16,20 persen) dan kredit investasi
(19.91 persen). Persentase rata-rata tahunan kredit konsumsi terhadap total
kredit bank umum sebesar 35,24 persen lebih tinggi dibanding kredit investasi
yang sebesar 16.31 persen serta lebih rendah dibanding kredit modal kerja
sebesar 48.45 persen. Pertumbuhan dan persentase kredit konsumsi yang relatif
tinggi ini mengindikasikan bahwa peningkatan konsumsi rumah tangga terhadap PDB
ditopang oleh kredit konsumsi.
“ Laju Pertumbuhan Ekspor dan Investasi Yang
Relatif Menurun dan Labil ”
Selain komponen
konsumsi rumah tangga, komponen ekspor memberikan sumbangsih yang cukup
menonjol. Empat tahun terakhir komponen ekspor memberikan sumbangsih rata-rata
diatas 40 persen setiap tahunnya. Akan tetapi peningkatan impor yang bertumbuh
seiring dengan pertumbuhan ekspor menyebabkan ekspor netto semakin menyusut.
Melihat laju pertumbuhan komponen ekspor empat tahun terakhir yang
kecenderungannya mengalami penurunan dari tahun ke tahun, maka kedepan
pemerintahan SBY – JK harus lebih memfokuskan kepada peningkatan komponen
ekspor.
Empat tahun
terakhir kondisi komponen investasi kecenderungannya mengalami kondisi yang
relatif tidak stabil. Pertumbuhan tertinggi investasi terjadi pada tahun 2004
yakni 14.1 persen. Namun setelah itu mengalami kemerosotan yang hanya mencapai
10,89 persen pada tahun 2005, kemudian 2,54 persen pada tahun 2006 dan hanya
9,15 pada tahun 2007. Padahal, untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan dan mampu memberikan dampak multiplier yang besar dalam
kerangka penurunan angka kemiskinan dan pengangguran, komponen investasi harus
memiliki peranan pertumbuhan yang sangat berarti sebagai komponen yang sangat
berpengaruh.
Melihat realitas pertumbuhan ekonomi empat tahun
terakhir yang masih dominan di drive oleh komponen konsumsi, kecenderungan
semakin merosotnya ekspor netto dan investasi yang masih relatif labil dan
rendah, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dicapai
selama ini belumlah berkualitas dan landasan pertumbuhan ekonomi jangka panjang
yang masih jauh dari kokoh.
“
Kesenjangan Distribusi Pendapatan Yang Semakin Melebar”
Angka
pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh pemerintahan SBY – JK dalam kurun waktu
empat tahun terakhir tergolong moderat. Pada tahun 2007, pertumbuhan ekonomi
Indonesia dapat mencapai 6,3 persen. Capaian moderat angka pertumbuhan ekonomi
dalam empat tahun kepemimpinan SBY – JK ini, juga dikuti dengan semakin melebarnya
kesenjangan distribusi pendapatan. Ini terlihat dari koefisien gini pada tahun
2007 sebesar 0,37 (Koefisien Gini tertinggi sepuluh tahun terakhir).
Empat tahun
pemerintahan SBY-JK, kesenjangan distribusi pendapatan mengalami peningkatan
yang cukup tajam dibandingkan dengan kesenjangan pada akhir masa jabatan
presiden megawati (tahun 2004). Angka Koefisien Gini pada pemerintahan masa
pemerintahan megawati memiliki trend menurun dan stabil dari 0,33 pada tahun
2002 dan 0.32 pada tahun 2004, sedangkan tend koefisien gini pada emapat tahun
pemerintahan SBY-JK mengalami trend peningkatan dibanding pada tahun 2004,
dimana pada tahun 2005 di angka 0,36, tahun 2006 diangka 0,33 dan pada akhir
tahun 2007 mencapai 0,37 (Angka koefisien gini tertinggi sepuluh tahun
terakhir). Semakin tingginya angka koefisien gini pada tahun 2007 menunjukkan
bahwa semakin lebarnya ketimpangan distribusi pendapatan di masyarakat dan
angka ini juga mengindikasikan bahwa, dibandingkan dengan pencapaian
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang relatif moderat/baik, hasil
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi hingga akhir tahun 2007 (khususnya di tahun
2007) hanya banyak dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Semakin melebarnya
kesenjangan distribusi pendapatan tersebut juga mengindikasikan sebuah
kegagalan kebijakan perekonomian yang telah dilaksanakan oleh pemerintahan
SBY-JK dalam rangka pencapaian pemerataan pendapatan (fungsi distribusi).
http://robbyalexandersirait.wordpress.com/2008/12/09/catatan-empat-tahun-kinerja-perekonomian-pemerintahan-sby-%E2%80%93-jk-part-3/